Selasa, 24 Maret 2015

Rangkuman Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia


PEMBERANTASAN PENYAKIT ERA KOLONIAL(AWAL ABAD 20 – 1945)
Pemberantasan penyakit menular yang dijalankan pada eraKolonial merupakan upaya preventif yang mencakup beberapapenyakit, sebagai berikut.

CACAR
Pada tahun 1804, untuk pertama kalinya penyakit cacar berjangkit di Batavia. Penyakit itu berasal ”Isle de France” (Mauritius), yang masuk Batavia dengan perantaraan para anak budak belian, berusia 6–12 tahun, penyakit itu terbawa sampai Batavia.Untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, vaksinasi pun mulai diberikan. Awalnya, vaksinansi cacar hanya diberikan bagi penduduk pribumi yang sehari-hari bergaul dengan orang Eropa. Namun pada akhirnya, vaksinasi juga diberikan kepada mereka yang tidak menolak pemberian vaksinasi.
Pada September 1811 – Maret 1816, Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles, salah satu pemimpin Inggris yang berkuasa saat itu, mulai mengembangkan wilayah pemberian vaksinasi cacar di daerah Jawa. Saat itu, pemberian vaksinasi cacar telah dilakukan oleh juru cacar pribumi, yang telah dididik di beberapa rumah sakit tentara.
Pada tahun 1820, Peraturan Jawatan Kesehatan Sipil (Reglement voor den BGD) ditetapkan. Bersamaan dengan itu, Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi Cacar (Reglement op de uitoefening der koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie) juga dikeluarkan, yang isinya:
1.      Seluruh usaha vaksinasi ditempatkan di bawah seorang Inspektur;
2.      Di setiap karesidenan diangkat seorang pengawas (opziener), sedapat-dapatnya dokter setempat;
3.      Pengawas tiap minggu harus memberi vaksinasi di tempat kedudukannya dan sekitarnya;
4.      Untuk tempat-tempat yang jauh dari tempat kedudukan pengawas, digunakan juru cacar (vaccinateur) pribumi, yang sebelumnya dididik oleh pengawas;
5.      Tiap bulan pengawas harus mengirimkan laporan kepada residen dan inspektur, dan tiap enam bulan memeriksa hasil pekerjaan para juru cacar;
6.      Inspektur bertanggung jawab atas pengiriman bibit cacar keseluruh karesidenan.

Bibit cacar yang tadinya didatangkan dari Eropa, kini mulai dibuat sendiri. Untuk mendukung pembuatan bibit cacar sendiri, maka di tahun 1879, ”Parc vaccinogene” didirikan di daerah Batu Tulis, Jawa Barat.Di tahun 1884, ketika dr. A. Schuckink Kool berhasil membuat vaksin di Meester Cornelis (Jatinegara), dengan menggunakan sapi sebagai tempat pembiakan. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, 6 Agustus 1890, tentang pendirian Parc Vaccinogen atau Landskoepok Inrichting di Rumah Sakit Tentara Weltevreden-Batavia, maka lembaga pembuatan vaksin dipindah ke Batavia. pada tahun 1896 didirikan Parc Vaccinogen Instituut Pasteur, Bandung. Dengan berdirinya Institut tersebut, maka di tahun 1918, lembaga pembuatan vaksin cacar dipindahkan ke Bandung, bersatu dengan Instituut Pasteur, dan berubah nama menjadi Landskoepok Inrichting en Instituut Pasteur. Seiring dengan perkembangan pembuatan vaksin, di tahun 1926, Dr. L. Otten berhasil menyempurnakan pembuatan vaksin, dari larutan dalam gliserin menjadi vaksin kering in vacuo.

KUSTA
Pada tahun 1655, Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan leprozerie di Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta), sebagai tempat penampungan para penderita kusta. Sesuai dengan cara yang diterapkan di Eropa saat itu, maka di tahun 1770 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan peraturan
pengasingan bagi penderita kusta yang ada di daerah konsolidasinya. Sampai dengan pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda telah mengembangkan leprozerie di berbagai daerah,seperti Ambon, Banda, Ternate, Manado, Gorontalo, Riau, Bangka, dan Bengkulu.
Namun pada tahun 1865, Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan bahwa penderita penyakit kusta dianggap tidak menular. Dengan adanya surat keputusan itu, maka para penderita kusta tidak boleh dipaksa masuk leprozerie. Mereka diberi kebebasan memilih untuk tetap tinggal dalam liprozerie atau meninggalkannya.
Berdasarkan hasil kongres Lepra pertama di Berlin (Jerman), di tahun 1897 peraturan pengasingan paksa diterapkan kembali. Kongres tersebut menyatakan bahwa lepra adalah penyakit menular. Atas dasar itu, Pemerintah Hindia Belanda kembali membangun liprozerie bagi penderita kusta. Namun di tahun 1932, peraturan pengasingan paksa di leprozerie dihapus oleh Dr. J. B. Sitanala, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberantasan Kusta. Ia bertindak atas referensi pemberantasan penyakit kusta di Norwegia. Pertimbangan lainnya, penerapan sistem tersebut di Filipina dan Hindia Barat tidak membawa hasil memuaskan. Sebagai gantinya, Dr. J. B. Sitanala menerapkan sistem ”tiga langkah” sebagai upaya pemberantasan kusta, yaitu ekplorasi, pengobatan, dan pemisahan. Eksplorasi, merupakan tindakan untuk mendapatkan data terpercaya di tiap daerah, termasuk data untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap penyakit kusta. Eksplorasi ini menjadi awal dari surveilans penyakit kusta. Pengobatan, merupakan tindakan pemberian obat berdasarkan hasil eksplorasi. Pengobatan dilakukan di poliklinik kusta, yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal penderita. Sekali seminggu, para penderita kembali mengunjungi poliklinik untuk mendapat pengobatan. Pemisahan, merupakan tindakan pemisahan penderita kusta dari lingkungannya, tanpa paksaan. Pemisahan dilakukan dengan menempatkan penderita kusta dalam rumah tersendiri, yang masih berada dalam lingkungan keluarga. Penerapan sistem ”tiga langkah” ini tidak otomatis menutupakses sistem leprozerie. Penampungan di leporozerie tetap dilakukan dengan tanpa paksaan (sukarela). Sampai dengan tahun 1940, sebanyak 47 liprozerie telah tersebar di seluruh wilayah Hindia Belanda, dihuni 4955 penderita kusta.

MALARIA
Pemberantasan penyakit malaria di Indonesia mulai menemukan titik terang, ketika di tahun 1882 Laveran berhasil menemukan plasmodium malarie sebagai penyebab penyakit malaria, dengan penularan melalui nyamuk. Di tahun 1911, Jawatan Kesehatan Sipil didirikan sebagai bentuk upaya penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria. Pada tahun 1924, Biro Malaria Pusat (Centrale Malaria Bureau) didirikan. Dalam menjalankan fungsinya, Biro Malaria Pusat selalu bekerja sama dengan Bagian Penyehatan Teknik (Gezondmakingswerken). Pada tahun 1929, Biro Malaria Pusat mulai mendirikan cabang di Surabaya, dengan fokus pelayanan kepulauan bagian timur. Sedangkan untuk wilayah seluruh Sumatera, pelayanandilakukan oleh cabang Medan. Para mantri malaria ditugaskanuntuk menentukan jenis nyamuk dan jentik, memeriksa persediaan darah, mengadakan pembedahan lambung nyamuk, serta membuat peta wilayah. Penerapan riset sebagai upaya pemberantasan malaria juga dilakukan dengan pembunuhan dan pencegahan berkembangnya jentik di sarang-sarang, pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap, obat nyamuk, penggunaan kelambu/kasa nyamuk pencegah kontak antara manusia dengan nyamuk serta kininisasi dalam epidemi.
Penerapan riset yang berdasarkan penyelidikanyang tepat terhadap biologi nyamuk penyebab malaria, maka dapat ditemukan berbagai pola pemberantasannya. Pemberantasan malaria di pantai, dapat dilakukan dengan cara Species-assaineering. Pertama, membuat tanggul sepanjang garis pantai. Tinggi tanggul dibuat melebihi tinggi air laut saat pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. Cara kedua, yaitu dengan membuat sebuah saluran. Saluran ini dibuat mulai dari muara sungai sampai melewati batas pemecah gelombang air laut. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan pembagian kinine, penggunaan kelambu/alat pembunuhan nyamuk, pemberian minyak tanah di sarang nyamuk, penempatan kandang kerbau di antara rumah tinggal dan sarang nyamuk, serta pemeliharaan tambak secara higienis.
Pemberantasan malaria di daerah pedalaman,beberapa cara yang dapat dilakukan adalah seperti berikut :
1.      Menghadapi An. ludlowi tawar di kolam-kolam ikan, yaitu dengan menembus tanggul untuk mengeluarkan airnya danmerubah kolam ikan menjadi sawah
2.      Cara biologis, yaitu dengan memasukkan ikan tawes dan ikan kepala timah dalam kolam
3.      Memberantas An. aconitus, An. minimus, dan An. Macolatus(biasa ditemukan di tempat yang rendah, saluran air yangkurang terpelihara, dan persawahan) dilakukan carapemeliharaan saluran air (saluran air masuk maupunpembuangan) secara baik, sehingga tebingnya terbebas daritumbuh-tumbuhan; penanaman padi secara serentak dipersawahan yang pengairannya tergantung dari satu saluran air yang sama mengeringkan sawah yang tidakdigarap dalam dua masa penanaman
4.      Khusus An. maculatus, digunakan cara biologis denganmenanam tepi aliran/anak sungai dengan tumbuhtumbuhanyang rindang. Cara ini berguna untuk menutupiair dari cahaya dan sinar matahari (cara yang lebih murahdari pada ”subsoil drainage” dan ”hillpoot drainage”).


SAMPAR/PES
Pada Maret 1911, kasus sampar pertama ditemukan di daerah Malang. Penemuan ini memperkuat dugaan adanya penyakit sampar di Jawa Timur, yang ternyata benar. Penyakit sampar telah meluasdi Kabupaten Malang, kemudian menjalar ke barat melalui Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun. Saat itu rantai penularan antara tikus, pinjal, dan berupa hipotesis. Dengan bukti yang cukup, diketah hubungan antara sampar tikus dan sampar manusi pemberantasan difokuskan pada pemutusan jarak hubungan/kontak antara manusia dengan tikus. Pada tahun 1915, Dinas Pemberantasan Pes dibentuk untuk memutus kontak antara manusia dengan tikus. Dinas Pemberantasan Pes, 1916 samping usaha perbaikan rumah, pemberian vaksin Haffkin hasilnya tidak memuaskan, pada vaksinasi berikutnya vaksin Otten (mulai tahun 1934), yang ternyata dapat menurunkan 20 % angka kematian dari angka semula.

FRAMBUSIA
Di zaman pejajahan, penyakit Frambusia (patek) dapat dikatakan sebagai penyakit rakyat, karena diderita oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Pemberantasan dilakuakan dengan memberi suntikan Neosalvarsan, sebagai pengobatan penderita frambusia yang ternyata berhasil memberikan peyembuhan. Meskipun harus membayar mahal pendrita frambusia berkumpul disuatu tempat yang akan didatangi oleh dokter sekali seminggu untuk memberikan pengobatan.Upaya pemberantasan frambusia secara teratur mulai dilakukanpada tahun 1934, atas prakarsa dr. Kodiyat, seorang dokterKaresidenan Kediri. Di awal kemerdekaan, pemberantasan dilakukan dengan carapemberian obat Penicillin bagi penderita. Setelah itu, pengobatan frambusia mulaimenggunakan sistemTreponematosis Control Programme Simplified (TCPS), yang secara bertahap telah mencakup seluruh wilayah tanah air.Meski belum merata, namuntelah mencapai hasil sangat memuaskan. Penyakit Kolera mulai dikenal pada tahun 1821. Penyakit ini termasuk penyakit sangat akut. Namun sampai dengan tahun 1860, sifatnya yang menular atau tidak, masih diperdebatkan. Setiap kali kolera mewabah, maka vaksinansi massa dan penyuluhan higiene akan diadakan. Tahun 1911, vaksin kolera mulai dibuat oleh Nyland. Meski vaksin sudah diproduksi, sampai dengan tahun 1920, penyakit kolera tetap mewabah setiap tahun. Antara tahun 1920 – 1927 tidak ada laporan wabah. Wabah terakhir terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1927.
TRACHOMA
Antara tahun 1926 – 1928, dilakukan penyelidikan prevalensi trachoma. Hasilnya, ditemukan beberapa daerah terjangkit, yang menjadi sarang penyakit tersebut. Berdasarkan temuan tersebut, pada tahun 1928 mulai diadakan pemberantasan penyakit Trachoma di daerah Tegal. Di tahun 1932, tercatat 16 poliklinik mata di Kabupaten Tegal dan Pemalang.

TUBERKULOSIS
Penyakit Tuberkulosis telah lama dikenal dengan berbagai sebutan, seperti ”batuk darah”, ”batuk kering”, dan sebagainya. Bagi penderita tuberkulosis yang mampu, perawatan diberikan di tempat peristirahatan, yang dinamakan ”sanatorium”.Tempat peristirahatan ini terletak di daerah pegunungan, dengan anggapan iklim pegunungan berpengaruh baik bagi kesehatan penderita. Dari waktu ke waktu, banyak orang menganggap bahwa tuberkulosis bukan masalah penting bagi Indonesia, negeri yang bermandikan cahaya matahari dengankehidupan alam terbuka. Di tahun 1917, dibentuk suatu panitia khusus,yang bertugas menyelidiki  jumlah penduduk pribumi yangmenderita penyakit tuberkulosis dan paru-paru. Pada Oktober 1918, didirikan suatu badan swasta berbentuk yayasan, yang mendapat bantuan tenaga dan keuangan dariPemerintah. Yayasan itu bernama ”Stichting der CentraleVereeniging tot Bestrijding der Tuberculose” (SCVT). Rencananya,yayasan ini akan mendirikan sanatoria, mengusahakanperawatan penderita di rumah, dan higiene sekolah sebagaiupaya pemberantasan penyakit ini.Sampai dengan tahun 1930, belum ada langkah sistematis sebagai upaya pemberantasan tuberkulosis. Sampai akhir penjajahan Belanda, telah tersebar poliklinik parudi 20 ibu kota karesidenan.

HIGIENE DAN SANITASI
Pembentukan badan “Higiene Commissie” (Panitia Higiene) pada tahun 1911 di Batavia. Badan initelah melakukan beberapa hal, seperti pemberian vaksinasi massa secara besar-besaran, penyediaan air minum, serta penganjuran untuk memasak air atau membubuhi air dengan kaliumpermanganaat, yang telah disediakan dengan cuma-cuma. Usaha higiene saat zaman penjajahan Belanda telah dirintis oleh dr. W. Th. de Vogel, yang berpengalaman sebagai dokter di Kota Semarang. Langkah nyata mulai dilakukan di tahun 1924, dengan di tahun 1924, dengandibentuknya Dinas Higiene. Sebagai langkah pertama, dinas ini melakukan “pemberantasan cacing tambang” di wilayah Banten.
Upaya pemberantasan dengan sistem higiene ini diprakarsai oleh dr. J. L. Hydrick dari Rockefeller Foundation (tahun 1924 – 1939). Lambat laun, pemberantasan cacing tambang semakin berkembang, dan dikenal istilah “medisch hygienische propaganda”.  Propaganda ini ditujukan tidak hanya untuk pemberantasan cacing tambang, tetapi juga pemberantasan penyakit perut lainnya, dengan cara penyuluhan di berbagai sekolah dan pengobatan bagi anak sekolah yang menderita sakit. Dalam kedudukannya, Dinas Higieneterpisah dari Dinas Kuratif. Namun daalam pelaksanaannya, kerjasama erat mencakup beberapa program tetap dilakukan keduanya, seperti :
1. Tindakan kekarantinaan, seperti isolasi, observasi, desinfeksi, penyidikan epidemiologi, dan tindakan perlindungan lainnya, saat menghadapi wabah (penyakit yang termasuk kedalam ordonasi epidemic)
2. Tindakan preventif terhadap penyakit-penyakit rakyat, seperti membangun assainering/penyehatan terhadap malaria, pembuatan kakus terhadap penyakit cacing tambang  dan penyakit perut laiinya (terhadap pengamatan dan penyuluhan penggunaannya), pengawsan air minum (termasuk pengawasan terhadap perusahaan es, minuman dan susu) 
3. Mengadakan kursus dukun, sebagai upaya menghadapi  banyaknya kasus kematian bayi dan anak
4. Pendidikan kesehatan bagi rakyat, termasuk pemberian kursus untuk guru sekolah dan perkumpulan wanita.

ERA AWAL KEMERDEKAAN DAN DEMOKRASI TERPIMPIN (1945 – 1965)

Era Demokrasi Terpimpin di Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Dengan adanya dekrit tersebut, maka pada 10 Juli 1959, Kabinet Kerja Pertama dibentuk, dengan Kolonel Prof. Dr. Satrio sebagai Menteri Muda Kesehatan.Pada era ini, berbagai lembaga kesehatan, terutama di bidang pemberantasan penyakit, telah berdiri dan tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut, antara lain Lembaga Eijkman (Jakarta), Lembaga Pasteur (Bandung), Lembaga Pemberantasan Penyakit Malaria (Jakarta), Lembaga Pemberantasan Penyakit Kelamin (Surabaya), Lembaga Pemberantasan Penyakit Rakyat (Yogyakarta), Lembaga Pemberantasan Penyakit Pes (Bandung), serta Lembaga Pemberantasan Penyakit Mata (Semarang).
Prinsip kebijakan kesehatan pada masa Demokrasi Terpimpin ditujukan pada beberapa usaha, yaitu :
1.      Memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi segenap peraturan-peraturan kesehatan
2.      Memperbanyak pendidikan tenaga kesehatan, baik dokter maupun tenaga paramedik
3.      Menyelenggarakan pembaharuan kebijaksanaan perumahsakitan, balai pengobatan, dan sejumlah BKIA
4.      Menentukan kebijaksanaan mengenai kefarmasian menggiatkan penggunaan obat-obatan asli serta pendirian pabrik-pabrik obat nasional, seperti ABDI, PAPHROS
5.      Pembasmian malaria dengan membentuk KOPEM
6.      Mengintensifkan pemberantasan penyakit Frambusia
7.    Menunjang penyelesaian Trikora dan Dwikora dengan menyediakan tenaga medik, paramedik, dan peralatan
8.      Perbaikan gizi masyarakat melalui Revolusi Makanan Rakyat dan Operasi Komando Buta Gizi
9.      Penyelenggaraan Rombongan Kesehatan Indonesia (RKI) untuk pemeliharaan kesehatan jemaah haji
10.  Pembinaan usaha-usaha kesehatan swasta
11.  Pembentukan Badan Pelindung Susila Kedokteran
12.  Perkembangan Kesehatan Olah Raga, berhubungan dengan akan adanya Asian Games dan Game of the NewEmergingForce (GANEFO).

PERIODE DITJEN KRIDA NIRMALA – DITJEN P4M
Pada tahun 1965, organisasi Departemen Kesehatan mengalami perubahan mendasar, yaitu dengan dibentuknya beberapa direktorat jenderal (Ditjen) sebagai unit pelaksana teknis (UPT), yang sebelumnya tidak ada dalam struktur organisasi Departemen Kesehatan.Menteri Kesehatan kemudianmengangkat dr. R.E.M. Suling menjadi Direktur Jenderal KridaNirmala, menggantikan dr. Marsaid, walau hanya dalam jangkawaktu singkat. Setelah itu, Prof. Dr. J. Sulianti Saroso diangkatuntuk menduduki jabatan tersebut. Bersamaan dengan itu,Direktorat Jenderal Krida Nirmala berganti nama menjadiDirektorat Jenderal Pencegahan, Pembasmian, danPemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P4M).

SAMPAR/PERS
Pada akhir tahun 1910, penyakit sampar/pes mulai menyebar diIndonesia. Penyakit ini, selama kurang lebih 40 tahun, telahmenyerang sekitar 240 ribu orang di Pulau Jawa.Penyakit pes menyebar di wilayah Nusantara melalui alatangkutan laut (kapal). Selain mengangkut beras, ternyata di ataskapal juga berkeliaran tikus-tikus yang terjangkit penyakit pes.  Penyakit ini pertama kali berjangkit di Pelabuhan Surabaya, kemudian menyebar ke daerah Pasuruan, Malang, Kediri, Madiun, Surakarta, Boyolali, Magelang, dan Yogyakarta. Pada tahun 1919, penyakit ini menyebar ke wilayah Jawa Tengah melalui Pelabuhan Semarang. Pemberantasan penyakit pes menggunakan racun serangga berupa ”DDT Spraying” mulai dilakukan tahun 1952 dan membawa hasil yang sangat memuaskan. Di akhir tahun 1960 dan di tahun 1961 tidak lagi dilaporkan adanya kasus pes.

KOLERA
Untuk mengatasinya, berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indoneisa, antara lain dengan pemberian vaksin TCD (typhus,cholerae, desentry) kepada anggota Angkatan Perang dan anakanak sekolah, sebagai upaya pengebalan di tahun 1950. Pada tahun 1957 ditemukan Vibrio Eltor di Makassar. Penemuan oleh Tanamal ini terjadi saat penyakit kolera sedang kembali berjangkit di Makassar dan Jakarta, yang dikenal dengan peristiwa Enteries Choleroformis. Di tahun 1961, kolera juga mewabah di Semarang, hingga menimbulkan kematian. Untuk itu, di tahun 1962, cholera eltormasuk dalam UU Nomor 6 tahun 1962 tentang Wabah. Artinya, penyakit ini harus segera diberantas, jika mewabah. Dengan kemajuan teknologi kesehatan, pemberian kekebalan dilakukan dengan menggunakan vaksinasi Chotipa (cholera,typhus, dan parathypus), yang dikenal dengan istilah pemberian ”Ring Vaksinasi”.

CACAR
Penyakit ini bermula dari Singapura/Malaka, menyebar ke Sumatera dan pulau lainnya di Indonesia, seperti Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara, melalui lalu lintas darat dan laut. Untuk mencegah penyebaran penyakit cacar, maka pada tahun 1951 pencacaran massal dilakukan di Pulau Jawa, Sumatera, dan pulau-pulau lain di Indonesia. Upaya ini (Smallpox EradicationProgramme) dikembangkan sejalan dengan kebijakan global dunia, melalui WHO, untuk membasmi penyakit cacar. Pembasmian dimungkinkan, karena penyakit cacar tidak mempunyai vektor penyakit. Selain itu, vaksin cacar yang sangat efektif juga telah dihasilkan oleh Bio Farma. Dengan ditemukannya vaksin cacar, maka pada tahun 1972, Pemerintah Indonesia berhasil membasmi penyakit tersebut. Dengan keberhasilan itu, di tahun 1974, Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO.

TUBERKULOSIS
Upaya pemberantasan penyakit Tuberkulosis pada jamanpenjajahan Belanda telah dilakukan oleh Stichting CentraleVereniging voor de Tuberculose Bestrijding (SCVT) di tahun 1918, dengan mendirikan lima sanatorium dan 20 biro konsultasi. Pada era 1950, diketahui adanya vaksin yang dapat memberikan kekebalan tubuh terhadap kuman penyakit penyebabntuberkolusis. Vaksin tersebut adalah vaksin BCG. Dengan adanya vaksin itu, pada Oktober 1952, Pemerintah Indonesia, WHO, dan UNICEF menandatangani persetujuan untuk memulai program percontohan dan latihan pemberantasan penyakit tuberkulosis.

MALARIA
Sebelum Perang Dunia II, usaha pemberantasan Malaria dilakukan dengan sistem pemberantasan sarang nyamuk, dengan membersihkan genangan air atau menyemprot air dengan minyak tanah. Seusai Perang Dunia II, ditemukan obat DDT yang dapat digunakan sebagai pembunuh serangga (insektisida dengan sistem penyemprotan rumah-rumah). Pemberantasan malaria dilakukan dengan dua upaya, yaitu preventif dengan pengendalian vektor penyakit (nyamuk) dan pengobatan penderita sebagai upaya kuratif, dan sampai saat ini untuk memberantas penyakit malaria belum diketemukann vaksinnya, sehingga penyakit ini menjadi salah satu penyakit menular yang sulit diberantas.

Pemberantasan ditandai dengan dilakukannya penyemprotan DDT pertama oleh Presiden Soekarno pada 12 November 1959, di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan pebasmian ini, meliputi :
1.      Penyemprotan rumah di seluruh Jawa, Bali, dan Lampung, selama tahap attack;
2.      Penemuan penderita secara aktif dan pasif serta pengobatanradikal terhadap yang positif pada bagian akhir tahap attackdan tahap konsolidasi;
3.      Penyelidikan entomologi
4.      Penataran tenaga.
5.      Dengan demikian, 12 November  ditetapkan sebagai HARI KESEHATAN NASIONAL, yang kini diperingati setiap tahun.

FRAMBUSIA
Sebelum Perang Dunia II, upaya pemberantasan penyakit frambusia dilakukan dengan cara pemberian suntikan neosalvarsan.Upaya yang dilakukan oleh dr. Kodiyat. Upaya pemberantasan frambusia telah dikenal luas dengan istilah ”Treponematosis Control Program”.

KUSTA
Meski penyakit Kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini cukup menimbulkan dampak sosial, karena menimbulkan leprofobia di kalangan masyarakat. Untuk mengatasinya, maka didirikan rumah sakit khusus kusta, sebagai upaya pemberatasan dengan pola perawatan penderita.  Lembaga Kusta Kementerian Kesehatan melakukan penelitian, pendidikan, usaha koordinasi, serta mencari cara pemberantasan yang tepat. Lembaga tersebut meliputi laboratorium, klinik, poliklinik pusat dan poliklinik pembantu, Leproseri Tangerang dan Lenteng Agung, serta Pusat Epidemiologi di Desa Wates Bekasi.

FILARIASIS
Filariasis, yang juga disebut penyakit kaki gajah merupakan penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan kebersihan perorangan, higiene, serta sanitasi lingkungan. Di Indonesia, penyebab panyakit ini adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, sejenis cacing (mikrofilaria) yang menyerang saluran kelenjar limpa dan funiculus spermaticus, sehingga penderita mengalami kecacatan di bagian anggota tubuh, seperti kaki. Penyakit ini menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia
dengan penularan melalui perantaraan nyamuk, terutama species culex dan spesies mansonia.

POLIOMYELITIS
Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio. Penyakit ini penyebab cacat tubuh pada anak, sehingga mengalami kelumpuhan.

PEMBERANTASAN PENYAKIT ERA PEMBANGUNAN NASIONAL (1966 – 1975)

PERIODE DITJEN P3M
Menteri Kesehatan, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P3M) mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pokok Departemen Kesehatan di Bidang Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Epidemiologi dan Imunisasi, serta Higiene Sanitasi. Untuk menyelenggarakan tugasnya, Ditjen P3M yang saat itu dipimpin oleh dr. Adhyatma, MPH, mempunyai fungsi:
a.       Ditujukan untuk mematahkan rantaipenularan. Untuk itu, cara yang dilakukan adalah dengan Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan danmpembinaan serta pemberian perijinan di bidangpemberantasan penyakit menular dan higiene Sanitasi sesuaidengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh MenteriKesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.      Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan HigieneSanitasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yangberlaku
c.       Pemberantasan penyakit menular dan higiene sanitasi,sesuai pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokokDitjen P3M dalam kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri
d.      Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undanganyang berlaku.
e.       Pada era Pembangunan Nasional (Pelita), pemberantasan penyakit menular menghilangkan sumber atau pembawa penyakit, mencegah adanya hubungan dengan penyebab penyakit, serta memberi kekebalan kepada penduduk.
Pemberantasan penyakit pada Pelita I ditentukan atas dasar beberapa pertimbangan, sebagai berikut.
1.      Perjanjian luar negeri, seperti International HealthRegulation (IHR), yang dituangkan dalam Undang-undangKarantina (cacar, kolera, dan pes)
2.      Penyakit yang menjadi masalah kesehatan rakyat dan telahdiketahui cara efektif pemberantasannya, seperti malaria,tuberkulosis, kusta, frambusia, dan penyakit kelamin;
3.      Penyakit lain yang timbul sebagai wabah dan diperlukanpengambilan tindakan, seperti penyakit antraks, demamberdarah, serta penyakit lain yang memerlukan survei, studi,dan percobaan pemberantasan untuk menyiapkan carapenanggulangannya (Filariasis, Schistosomiasis, dan Cacingtambang.
permasalahan yang timbul di daerah harus diselesaikan secara tepat dan cepat, dengan melakukan:
1.      Penelitian keadaan penyakit dan pola penyebarannya (epidemiological surveilance);
2.      Pembangunan unit pengamatan (surveillance unit);
3.      Pemeriksaan laboratorium;
4.      Kekarantinaan dengan cara meningkatkan pencegahan masuk/keluarnya penyakit menular ke/dari luar negeri;
5.      Higiene dan Sanitasi, dengan cara perbaikan persediaan air minum pedesaan dalam usaha pemberantasan/pencegahan penyakit, seperti kolera)
6.      Mendidik masyarakat untuk membiasakan diri untuk hiduphigienis.

MALARIA
Kebijakan pokok pemberantasan malaria pada era ini adalah melaksanakan pemberantasan agar malaria tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Untuk itu, penyemprotan dilakukan terhadap 8,6 juta rumah di sumber penularan, penemuan penderita secara pasif dan aktif, pengobatan 32,6 juta penderita, serta melatih puluhan ribu tenaga pemberantasan malaria.

DEMAM BERDARAH
Usaha pemberantasan penyakit demam berdarah meliputi 3 bidang, yaitu surveilance, pengobatan penderita, dan pemberantasan.Di bidang pemberantasan, dilakukan kegiatan penyemprotan menggunakan Malathion, percobaan aplikasi abate terhadap 115 ribu rumah, dan peniadaan sarang nyamuk melalui penyuluhan kesehatan terhadap 2,4 juta rumah.

FILARIASIS DAN SCHISTOSOMIASIS
Dalam rangka pemberantasan penyakit Filariasis dan Schistosomiasis telah dilakukan mirofilaria, survei di 10 Kabupaten.  Untuk meningkatkan pemberantasan penyakit ini, pada 3 Februari 1975 diadakan Penataran Tenaga Pimpinan/Pelaksana Pemberantasan Filariasis di Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

RABIES
Pemberantasan penyakit rabies telah dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan pemberian vaksin anti rabies kepada hewan, perbaikan sistem pelaporan dan pencatatan, serta peningkatan kesadaran dan kerjasama yang baik dari para petugas. Cara tersebut membuahkan hasil yang cukup baik, dimana dilaporkan adanya penurunan jumlah orang yang digigit hewan dan permintaan pengobatan/vaksinasi.

TUBERKULOSIS
Pada Pelita I, fokus pemberantasan penyakit paru-paru adalah dengan menurunkan tuberkolusis incidente. Pemberantasan dilakukan dengan cara pemberian suntikan BCG kepada semua anak umur 0–14 tahun. Saat itu, vaksinasi mencakup sekitar 38 juta anak Indonesia. Daerah Jawa dan Bali berhasil mencapai 80% dari target, sedangkan daerah lainnya mencapai sekitar 51%.

PES
Pengamatan terhadap penyakit pes pada era ini tidak menemukan gejala-gejala yang mencurigakan akan timbulnya kasus/wabah.

KOLERA
Guna memberantas penyakit kolera, pemerintah menitikberatkan usaha tersebut menitikberatkan usaha pengobatan dini secara tepat. Hasilnya, case fatality rate (CFR).
FRAMBUSIA
Sejak tahun 1951, sistem Treponematis Control Program Simplified (TCPS) guna memberantas penyakit frambusia telah mencapai banyak keberhasilan.

KUSTA
Keberhasilan program pemberantasan penyakiy kusta ini telah mengalirkan bantuan hibah Sasakawa Foundation, Jepang. Bantua hibah ini sangat berguna untuk pengembangan rumah sakit kusta di Tanggerang dan Sulawesi Selatan.

CACAR
Dalam usaha pemberantasan penyakit cacar, Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan peningkatan pengamatan dan pemberian kekebalan penyakit cacar kepada 1/3 penduduk Indonesia.  Pemerintah juga mengambil kebijakan lain dengan ikut serta dalam Global Smallpox Eradication Program (SEP) pada tahun 1967. Indonesia mulai mengalami banyak kemajuan dalam pemberantasan penyakit cacar, hingga dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada 25 April 1974.

PENYAKIT KELAMIN
Upaya pemberantasan penyakit kelamin telah dilakukan di 139 kabupaten pada tahun 1973 – 1974. Hasilnya, ditemukan 100 ribu penderita. Untuk itu, segera dilakukan pencegahan terhadap 20 ribu sumber penularan. Kebijakan yang dilakukan pada Pelita I guna memberantas penyakit ini adalah sebagai berikut.
1.      melaksanakan penemuan penderita
2.      melanjutkan penyuntikan seminggu sekali
3.      meningkatkan pendidikan kepada masyarakat tentang penyakit kelamin
4.      mengembangkan cara pemberantasan gonorrohoea.

EPIDEMIOLOGI DAN KARANTINA
Dalam usaha pemberantasan penyakit, maka dilakukan pengamatan epidemiologi, imunisasi, serta karantina kesehatan pelabuhan/haji. Beberapa hal yang dilakukan, antara lain:
1.      Penyempurnaan (pembaruan dan penyederhanaan) dalam sistem pelaporan pada Mei 1975
2.      Pemberian vaksinasi cacar dan BCG kepada sekitar 8 jutaanak, sebagai usaha pemberantasan penyakit cacar dan Tuberkulosis paru-paru
3.      Penyempurnaan tiga kantor Dinas Kesehatan Pelabuhan(DKP), yaitu dengan penyediaan alat-alat medik, higiene dansanitasi di delapan DKP, serta peningkatan usaha karantinahaji.

HIGIENE DAN SANITASI
Sebagai usaha higiene dan sanitasi, maka dilakukan beberapa hal, sebagai berikut.
1.      Pencegahan pencemaran lingkungan di 10 kotamadya dari 10 provinsi
2.      Pengangkatan 85 tenaga penilik kesehatan dan 245 sanitarian
3.      Lokakarya Pengurusan dan Pemeliharaan Sarana Air MinumPedesaan, yang diikuti 30 orang peserta dari 13 provinsi.

PERIODE DITJEN PPM & PLP
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP) mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pokok. Departemen Kesehatan di bidang pemberantasan penyakit bersumber binatang, pemberantasan penyakit menular langsung, epidemiologi dan imunisasi, serta penyehatan lingkungan pemukiman dan penyehatan air. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Ditjen PPM & PLP mempunyai fungsi:
a.       Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan danpembinaan serta pemberian perijinan di bidangpemberantasan penyakit menular dan penyehatanlingkungan pemukiman sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku
b.      Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan pemukiman berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
c.       Pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular danPenyehatan Lingkungan sesuai dengan kebijaksanaan yangditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku.

INPRES SAMIJAGA
Guna mempercepat akses masyarakat akan kebutuhan sanitasi dasar, seperti air minum dan jamban keluarga yang memenuhi persyaratan kesehatan, maka mulai tahun 1974 pemerintah menetapkan kebijakan Inpres Samijaga (sarana air minum dan jamban keluarga). Inpres ini memberikan bantuan pembangunan sarana air bersih dan jamban keluarga bagi masyarakat serta penempatan tenaga kesehatan, seperti tenaga dokter dan sanitarian di puskesmas guna meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat, khususnya di bidang kesehatan lingkungan. Di samping pembangunan saranan sanitasi tersebut, Inpres Samijaga juga memberikan bantuan pembangunan sarana kesehatan, seperti gedung puskesmas dan puskesmas keliling, dengan segala fasilitas lainnya yang berhubungan dengan kegiatan pembangunan sarana air minum dan jamban keluarga.

P4D
Pemberantasan penyakit diare di Indonesia dimulai sejak Repelita III (1981), sebagai kelanjutan kegiatan penanggulangan penyakit kolera dan gastroenteritis (1978).Di samping tingginya angka kesakitan, penyakit ini juga sering menimbulkan KLB yang disertai dengan kematian. Untuk memberantas penyakit itu, pemerintah mengembangkan Program Pemberantasan Penyakit Diare (P4D) di seluruh puskesmas, dengan tujuan memperluas cakupan pelayanan penderita, terutama pelayanan melalui posyandu, sebagai upaya tatalaksana penderita diare di sarana kesehatan dan masyarakat. Dengan dilaksanakannya tatalaksana tersebut dengan cepat dan tepat, angka kematian akibat diare dapat diturunkan, terutama saat terjadi KLB.

PENGEMBANGAN PROGRAM IMUNISASI
Pengembangan Program Imunisasi (PPI) dimulai pada era tahun 70-an. Program ini bertujuan mempercepat pencapaian sasaran program imunisasi guna mencegah penyebaran penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Awalnya, program ini baru mencakup pemberian vaksinasi BCG. Seiring dengan waktu, selanjutnya program diperluas terhadap vaksinasi dasar, seperti DPT, polio, TT, dan campak.

ERADIKSI POLIOMYELITIS
Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan kecacatan bagian tubuh, seperti kaki, sehingga penderita mengalami kelumpuhan.Pada era tahun 1980, pemerintah mengembangkan Program Imunisasi yang diprioritaskan bagi bayi dan anak balita. Melalui gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) diharapkan penyakit ini tidak ditemukan lagi di wilayah Indonesia.Untuk mensukseskan program ini, Pemerintah menjadikan program ini sebagai gerakan nasional, yang dikenal dengan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Dengan gerakan nasional ini, diharapkan penyakit poliomylities dapat diberantas. Namun pada tahun 2005, penyakit ini ternyata muncul kembali di Sukabumi, Jawa Barat, yang diperkirakan berasal dari Afrika.

DEMAM BERDARAH DENGUE
Pada tahun 1968, penyakit Demam Berdarah Dengue (dengue haemorraghic fever) mulai berjangkit di Indonesia. Awalnya,penyakit tersebut berjangkit di Surabaya, kemudian menyebar ke berbagai wilayah, seperti Semarang, Jakarta, Palembang. menimbulkan wabah.Sampai saat ini seluruh wilayah di Indonesia telah terjangkit penyakit ini, dan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue serta disebarkan dengan perantaraan nyamuk aedes aegypti ini sulit diberantas karena terkait erat dengan perilaku masyarakat dan kesehatan lingkungan.

FILARIASIS
Penyakit Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan kebersihan perorangan, higiene, serta sanitasi lingkungan. Di Indonesia, Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi dikenal sebagai penyebab panyakit ini, dengan penyebaran hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pemberantasan filarisis di Indonesia menggunakan obat Diethyl Carbamazize Citrae (DEC), yang sangat efektif dalam membunuh microfilaria maupun macrofilaria.

SCHISTOSOMIASIS
Schistosomiasis adalah penyakit parasitik akibat infeksi cacing Schistosoma, dengan gejala klinis awal gatal-gatal  saat serkaria masuk ke dalam kulit. Terdapat empat spesies cacing Schistosoma yang menjadi parasit pada manusia yaitu Schistosoma haematobium, Schistosoma mansonni, Schistosoma japonicum, Schistosoma mekongi. Penyelidikan epidemiologi Schistosomiasis dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu berdasarkan jenis penyebaran schistosomiasis di dunia, manivestasi klinis, dampak sosio ekonomi, dan pemberantasan.

PEMBERANTASAN PENYAKIT ERA REFORMASI (2000 – 2007)

PERIODE DITJEN PPM & PLP – DITJEN PP & PL
Berbagai penyakit baru yang dikenal dengan istilah New-emerging Diseases pun turut berkembang, seperti penyakit Severe Accute Respitory Syndrome (SARS), Avian Influenza (flu burung), Meningitis Meningokokus, serta penyakit zoonosis lain (Hanta virus, Nipah Virus). Untuk itu diadakan perubahan nama Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP) menjadi Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL).

KANTOR KESEHATAN PELABUHAN
Dengan berkembangnya zaman, urusan kekarantinaan dilaksanakan dalam dinas Kesehatan Pelabuhan, baik laut maupun udara, sesuai dengan International Sanitary Regulation dari WHO. Dengan berkembangnya zaman, urusan kekarantinaan dilaksanakan dalam dinas Kesehatan Pelabuhan, baik laut maupun udara, sesuai dengan International Sanitary Regulation dari WHO.

BTKLPPM
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKLPPM) merupakan salah satu UPT di lingkungan Ditjen PP & PL, yang bergerak di Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular.  BTKLPPM bertugas sebagai pelaksana surveilans epidemiologi, kajian dan penapisan teknologi, laboratorium rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan model dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB/Wabah dan bencana di bidang pemberantasan penyakit menular dan kesehatan lingkungan serta kesehatan matra.

RSPI PROF. DR. SULIANTI SAROSO
Pada tahun 1958, Stasiun Karantina (pindahan dari Pulau Onrust Kuiper) didirikan di daerah Pelabuhan Tanjung Priok. Fungsinya, untuk menampung penderita penyakit karantina dari kapal. Di tahun 1964, Stasiun Karantina juga difungsikan sebagai tempat menampung penderita penyakit cacar dari Jakarta dan sekitarnya, yang berjumlah sekitar 2.358 orang. Namun sejak Indonesia dinyatakan bebas cacar pada tahun 1972, kegiatan pun berkurang, sehingga pada 28 April 1978, Stasiun Karantina berubah fungsi menjadi Rumah Sakit Karantina. Rumah Sakit Karantina mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan, pengobatan, perawatan, karantina dan isolasi serta pengelolaan penyakit menular tertentu. Dalam perjalanannya, rumah sakit ini tidak hanya merawat penderita penyakit wabah, tetapi juga penyakit menular atau infeksi lainnya. Selain itu, RSPI-SS juga menjalankan fungsi sebagai:
a.       pelaksana rujukan nasional di bidang penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya;
b.      penatalaksanaan penyakit infeksi menular lainnya
c.       penelitian klinik dan epidemiologi penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya
d.      pelaksanaan sistem kewaspadaan dini, penanggulangan wabah/kejadian luart biasa (KLB);
e.       pendidikan dan pelatihan di bidang penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya
f.       penelitian dan pengembangan di bidang penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya
g.      pengelolaan sistem informasi penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya.
h.      Beberapa tahun terakhir, RSPI-SS telah menunjukkan kemampuannya dalam upaya penanggulangan penyakit infeksi maupun penyakit lainnya, seperti Diare, HIV/AIDS, Tifoid, Salmonellosis, KLB Demam Berdarah, KLB SARS, KLB Polio, dan KLB Flu Burung.

PERIODE DITJEN PP & PLPERIODE
Perubahan nomenklatur Ditjen P2M dan PL menjadi Ditjen PP & PL atas dasar Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Repbulik Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Sebagai upaya pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tersebut, Ditjen PP & PL telah menyusun dan melaksanakan berbagai program.

PROGRAM IMUNISASI
Imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan penyakit paling efektif dan berdampak terhadap  peningkatan kesehatan masyarakat. Namun,pemberian imunisasi mempunyai resiko adanya kejadian  ikutan pasca imunikasi(kipi).kegiatan imunisasi  rutin meliputi pemberian imunisasi  kepada umur 0-1  tahun (BCG,DPT,POLIO,CAMPAK,HB),Imunisasi  kepada wus/bumil(TT),dan imunisasi  kepada anak sd.kegiatan imunisasi tambahan dilakukan  atas dasar  di temukannya masalah,seperti desa non UCI,potensial/risti KLB, Di temukan adanya virus polio liar.

KUSTA
Berdasarkan catatan WHO, Indonesia saat ini masih menjadi  salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia.Meskipun Indonesia telah mencapai Eliminasi Kusta pada
pertengahan tahun 2000, namun penyakit ini masih menjadimasalah kesehatan yang cukup besar. Sampai akhir tahun 2005,14 provinsi dan 155 kabupaten di Indonesia belum mencapai
eliminasi.

FRAMBUSIA
Penderita Frambusia banyak ditemukan di wilayah timurIndonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan SulawesiTenggara. Sedangkan di wilayah barat, ditemukan di NAD, Jambi,Banten, dan Jawa Timur. Wilayah-wilayah itu dikenal sebagai”kantong Frambusia”.lingkungan yang kurang menguntungkan serta tempattinggal di daerah pedalaman membuat penderita Frambusia sulit mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk menjangkau daerah daerah kantong Frambusia yang tersebar di beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia, maka pada tahun 2000 mulai dilakukan survei daerah kantong Frambusia. Sejak saat itu sampai dengan tahun 2005, sejumlah 17.085 kasus dan kontak telah ditemukan serta diobati.

MALARIA
Kebijakan program pemberantasan penyakit malaria menggunakan strategi penegakkan diagnosa kasus dengar konfirmasi laboratorium,yang di kenal dengan istilah  Annual Parasite Incidence (API).

DEMAM BERDARAH DENGUE
Metode tepat guna untuk mencegah DBD adalah dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui 3M plus (menguras, menutup, dan mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan pada tempat penampungan air, serta kegiatan lainnya yang dapat mencegah/memberantas nyamuk Aedes berkembang biak.

DEMAM CHIKUNGUNYA
Demam chikungunya adalah suatu penyakit menular dengan gejala utama demam mendadak, nyeeri pada persendiaan terutama lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan, serta tulang belakang yang disertai ruam pada kulit.

ISPA
ISPA termasuk Pneumonia, sering kali disebut sebagai wabah raya yang terlupakan atau The Forgetten Pandemic, kaena kurangnya perhatian organisasi internasional terhadap penyakit ini. Upaya yang dilakukan lebih dari sepuluh tahun yang lalu, belum juga menemukan intervensi yang efektif untuk mengatasi penyakit ini.

TUBERKULOSIS
Pengembangan program pengendalian TBC dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse Chemotheraphy) sampai dengan tahun 2005 telah dilaksanakan diseluruh provinsi di indonesia. Hasilnya tercapai penurunan insiden kasus menular, yaitu dari 130/100.000 penduduk (WHO-1995) menjadi 170/100.000 penduduk.

HIV/AIDS DAN PMS
Pada desember 2003, WHO menetapkan kebijakan “Three By Five Initiative” yaitu target gelobal akses pengobatan Anti Retro Viral (ARV) terhadap tiga juta ODHA pada tahun 2005. Berdasarkan kebijakan itu, menkes menetapkan target, bahwa sepanjang tahun 2005 sebanyak 10 ribu ODHA telah mendapatkan aksesbilitas pengobatan ARV.

DIARE
Selain angka kesakitan yang masih tinggi, penyakit diare juga sering menimbulkan KLB dengan tingkat CFR yang juga tinggi. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 diperoleh angka kematian diare (semua umur) 23 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada Balita, 75 per 1000.000 penduduk.
Salah satu upaya menurunkan kematian akibat diare adalah dengan tatalaksana yang tepat dan cepat. Upaya ini dilakukan dengan mengadakan pelatihan petugas terintegrasi dengan pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), serta pengamatan tatalaksana diare di puskesmas sentinel.

KECACINGAN
Untuk mempercepat penurunan prevalensi cacingan pada anak sekolah dasar, kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan bagi murid SD dilakukan oleh para guru di sejumlah SD, yang tersebar di lima provinsi. Sosialisasi materi pemberantasan penyakit kecacingan diberikan kepada para guru, agar mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih tentang penyakit ini. Bahan materi, berupa poster pencegahan cacingan dan lembar balik cacingan, juga diberikan sebagai alat penunjang kegiatan.

FILARIASIS
Hingga saat ini, Filariasis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hasil mapping yang dilakukan sampai tahun 2004 menggambarkan adanya kasus kronis yang mencapai jumlah 8.243 orang, yang tersebar di 30 provinsi. Untuk itu, Indonesia melaksanakan Program Eliminasi Filariasis atas dasar kesepakatan Global WHO tahun 2000, yaitu “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem the year 2020”, yang merupakan realisasi dari resolusi WHA pada tahun 1997.

FILARIASIS
Langkah pemberantasan ditujukan pada cacing Schistosoma japonicum (host), keong Oncomelania hupensis lindoensis (hospes perantara), manusia, dan hewan mamalia (hospes definitif), dan lingkungan fisik maupun biologis. Schistosomiasis tidak mungkin dieradiksi. Oleh karena itu, tujuan program pemberantasan Schistosomiasis adalah eliminasi, supaya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

FLU BURUNG
Flu burung atau avian influenza adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Di indonesia, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada agustus 2003. Flu burung menular dari unggas ke unggas, dan dari unggas ke manusia. Penyakit ini menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung/ unggas yang menderita flu burung.

SARS
Kasus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) atau Sindrom Pernapasan Akut Berat, pertama kali ditemukan di Provinsi Guangdong (Cina) pada November 2002. Saat itu, WHO menyebut penyakit ini sebagai Atypical Pneumonia atau Radang Paru Atipik.  Kemudian pada 11 Maret 2003, WHO kembali mengumumkan adanya penyakit baru yang menular sangat cepat di Hongkong, Singapura, dan Vietnam. Belum diketahui apakah penyakit ini sama dengan Atypical Pneumonia yang berjangkit di Guangdong. Pada April 2003, barulah WHO memastikan bahwa Atypical Pneumonia di Guangdong adalah SARS. Untuk itu, Direktur Jenderal WHO menyatakan bahwa SARS adalah ancaman global atau Global Threat.

Pertimbangan WHO menyatakannya sebagai ancaman global, karena SARS merupakan penyakit baru yang belum dikenal penyebabnya dan menyebar secara cepat melalui alat angkut antar negara, terutama juga menyerang tenaga kesehatan di
rumah sakit.

KESEHATAN HAJI
Sejak tahun 2001, kasus Meningitis pada jemaah Haji Indonesia telah menunjukan penurunan angka, bahkan di tahun 2004 tidak ditemukan adanya kasus. Sedangkan untuk meminimalisir jemaah haji yang meninggal karena risiko penyakit kardiovaskuler/jantung dan paru, maka pembinaan jemaah haji risiko tinggi terus dilakukan, dengan cara sosialisasi manajemen risiko ke daerah-daerah di wilayah Indonesia. Kerjasama berbagai sektor terkait juga terus dilakukan, sebagai upaya peningkatan kesiapsiagaan, deteksi dini, serta respon kejadian luar biasa (KLB).

1 komentar: