Selasa, 31 Maret 2015

Makalah Daya Tahan Tubuh (Imunitas)



M A K A L A H
Daya Tahan Tubuh (Imunitas)
“Dasar Pemberantasan Penyakit”












Disusun Oleh :
                       Nama     :   Yullyanti Yuni Kartika
   NIM       :   131108113201002
                       Prodi      :   Kesehatan Masyarakat


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kapuas Raya Sintang
Tahun Akademedik 2014/2015


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah sehingga saya dapat meneliti mengenai  “Daya Tahan Tubuh (Imunitas)”  patut disadari semua ini terjadi karena adanya bimbingan Allah SWT yang telah memberi kesempatan untuk menyusun makalah ini supaya menyelesaikan makalah ini upaya dapat mengerti dan memahami tentang Daya Tahan Tubuh.
Akhirnya ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini,penulis juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Kritik maupun saran yang membangun sangat diperlukan guna perbaikan kedepan.



Sintang, Maret 2015


                                                                                                          Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC). mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.



1.2  Rumusan Masalah
a.       Apa efektor utama respon imun terhadap vaksin ?
b.      Apa aktivasi respon imun innate (non spesifik) dan adatif (spesifik) terhadap vaksin ?
c.       Apa respon sel B (pembentukan antibodi) terhadap vaksin ?
d.      Apa respon sel T terhadap vaksin ?
e.       Apa pembentukan memori (booster) ?

1.3  Tujuan Penulisan
a.       Untuk memahami tentang efektor utama respon terhadap vaksin.
b.      Untuk mengetahui tentang respon imun innate (non spesifik) dan adatif (spesifik) terhadap vaksin.
c.       Untuk mengetahui tentang respon sel B (pembentukan antibodi) terhadap vaksin.
d.      Untuk mengetahui respon sel T terhadap vaksin.
e.       Untuk mengetahui pembentukan memori (booster).


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Efektor utama respon imun terhadap vaksin
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Respon Imun Tubuh Terhadap Vaksin Respon imun terhadap imunisasi pada dasarnya sama seperti respon imun terhadap agen infeksius. Hal ini dikarenakan vaksin yang dibuat merupakan agen infeksius yang dilemahkan atau direkayasa secara genetika dengan menghilangkan sifat. Pada saat manusia tervaksinasi, vaksin yang mengandung agen atau komponen agen infeksius yang masuk ke dalam tubuh akan direspon dengan  respon imun primer.
Dilihat dari berapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.
a.       Respons imun primer. Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah IgM dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen masuk sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila dibanding dengan respons imun sekunder.
b.      Respons imun sekunder.  Pada respons imun sekunder, antibodi yang dibentuk kebanyakan adalah IgG, dengan titer dan afinitas yang lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding respons imun primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Demikian pula dengan imunitas selular, sel limfosit T akan lebih cepat mengalami transformasi blast dan berdiferensiasi menjadi sel T aktif sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori.  Pada imunisasi, respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa kelak. Untuk mendapatkan titer antibodi yang cukup tinggi dan mencapai nilai protektif, sifat respons imun sekunder ini diterapkan dengan memberikan vaksinasi berulang beberapa kali.

2.2  Aktivasi respon imun innate (non spesifik) dan adatif (spesifik)
a.       Respon imun innate
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
Respon ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik yang mencegah masuk dan menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Ada beberapa komponen innate immunity, yaitu :
1.      Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel poli-morfonuklear (PMN) dan makrofag.
2.      Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.
3.      Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi.
4.      Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yang mengikat mikroorganisme, selanjutnya terjadi aktivasi komplemen melalui jalur klasik yang menyebabkan lisis mikroorganisme.
5.      Produksi interferon alfa (IFN-α) oleh leukosit dan interferon beta (IFN-β) oleh fibroblast yang mempunyai efek antivirus.
6.      Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK) melalui pelepasan granula yang mengandung perforin.
7.      Pelepasan mediator eosinofil seperti  major basic protein (MBP) dan protein kationik yang dapat merusak membran parasit.
8.      respon imun adatif (spesifik)
b.      Respon Imun Adatif
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif  atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.
Bila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik/innate immunity, maka tubuh akan membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan spesifik. Mekanisme imunitas ini memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih dulu. Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari imunitas humoral, yaitu produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T dependent) dan mekanisme Cell mediated immunity (CMI). Sel limfosit T berperan pada mekanisme imunitas ini melalui produksi sitokin serta jaringan interaksinya dan sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 6 (IL-6).
2.3  Respon sel B (pembentukan antibodi) terhadap vaksin
Antibody-mediated immunity
Antibodi menyerang pathogen sebelum masuk ke dalam sel tubuh. Senyawa tersebut juga bereaksi terhadap zat-zat toksin dan protein “asing”. Antibodi dihasilkan oleh sel limfosit B dan teraktivasi bila mengenali antigen yang terdapat pada permukaan sel pathogen, dengan bantuan sel limfosit T.  Terdapat 3 jenis limfosit B, yaitu:
a.       Sel B plasma mensekresikan antibodi ke sistem sirkulasi tubuh Setiap antibodi sifatnya spesifik terhadap satu antigen patogenik. Sel plasma memproduksi antibodi dengan sangat cepat, yaitu sekitar 2000 per detik untuk tiap sel. Sel plasma yang aktif dapat hidup selama 4-5 hari.
b.      Sel B memori  mengingat suatu antigen yang spesifik dan akan merespon dengan sangat cepat bila terjadi infeksi kedua. Sel ini hidup untuk waktu yang lama dalam darah.
c.       Sel B pembelah menghasilkan lebih banyak lagi sel-sel limfosit B Setelah infeksi berkahir, sel B akan mati. Serangkaian respon tersebut dinamakan respon imun primer. Meskipun demikian, sel-sel B yang telah mengingat patogen yang menginfeksi masih tetap hidup untuk beberapa tahun. Jika patogen yang sama menginfeksi, sel B tersebut akan membelah menghasilkan sel B aktif dalam jumlah besar. Respon tersebut dinamakan respon imun sekunder. (respon sekunder lebih cepat dan efektif dibandingkan respon primer)

2.4  Respon sel T terhadap vaksin
Cell-mediated immunity
Sel limfosit T mematikan beberapa mikroorganisme. Namun, kebanyakan menyerang sel-sel tubuh yang terinfeksi. Tubuh menggunakan respon imun ini untuk berhadapan dengan parasit multiseluler, fungi, sel-sel kanker, dan menyerang jaringan/organ transplan yang dianggap sel ”asing”. Sel ini juga bereaksi terhadap antigen yang spesifik. Saat patogen menginfeksi, setiap antigen yang ada di permukaan sel patogen akan menstimulasi limfosit T untuk membelah membentuk klon. Beberapa klon akan menjadi sel-sel memori yang tetap bertahan untuk mempersiapkan respon imun sekunder jika patogen yang sama menyerang. Klon lainnya akan berkembang jadi salah satu dari 3 jenis sel T, yaitu:
a.       Sel T pembantu mengontrol komponen respon imun spesifik lainnya, menstimulasi sel B untuk membelah dan memproduksi antibodi, mengaktivasi sel T lainnya, dan mengaktivasi makrofag.
b.      Sel T pembunuh menyerang sel tubuh yang terinfeksi dan sel patogen yang relatif besar secara langsung. Sel T pembunuh akan melubangi sel lawannya sampai kehilangan sitoplasma dan mati.
c.       Sel T supresor menurunkan dan menghentikan respon imun ketika respon imun sudah lebih dari yang diperlukan atau infeksi telah diatasi. Mekanisme tersebut penting, sebab jika tubuh terus menerus memproduksi antibodi dan menstimulasi sel B dan sel T untuk terus membelah, bahkan ketika tidak dibutuhkan, komponen sitem imun tersebut dapat merusak jaringan tubuh sendiri.




2.5  Pembentukan Memori (booster)
Ketika sel Bdansel Tdiaktivasi dan mulai untuk bereplikasi, beberapa dari keturunan mereka akan menjadi memori sel yang hidup lama. Selama hidup, memori sel tersebut akanmengingat tiap patogen spesifik yang ditemui dan dapat melakukan respon kuat jikapatogen terdeteksi kembali. Hal ini adaptif karena muncul selama kehidupan individu sebagai adaptasiinfeksi dengan patogen tersebut dan mempersiapkan imunitas untuk tantangan pada masadepan. Memori imunologikal dapat berbentuk memori jangka pendek pasif atau memori jangkapanjang aktif.

Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder menyebabkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten, bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Oleh sebab itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji coba.




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem kekebalan tubuh yang sehat merupakan kekebalan yang dapat membedakan antara bagian tubuh dari sistem itu sendiri dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Secara garis besar, sistem imun menurut sel tubuh dibagi menjadi sistem imun humoral dan sistem imun seluler. Respon ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik yang mencegah masuk dan menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari imunitas humoral, yaitu produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T dependent) dan mekanisme Cell mediated immunity (CMI).

3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan bagi mahasiswa/i  khususnya program studi kesehatan masyrakat maupun pembaca lainnya diharapkan dapat memahami dan mengerti tentang Daya Tahan Tubuh (Imunitas) dan juga  dapat memberi saran yang membangun guna perbaikan kedepan.

Daftar Pustaka

·     http://allergycliniconline.com/2012/02/01/imunologi-dasar-imunologi-vaksin/




Distribusi Penyakit Menurut Orang, Waktu, Tempat



Distribusi Penyakit Menurut Orang, Waktu, Tempat
Dalam studi epidemiologi, ada dua kegiatan pokok dan terpisah yang harus dilakukan. Pertama, adalah studi terhadap jumlah dan distribusi penyakit, kondisi, cedera, ketidakmampuan, dan kematian dalam populasi. Untuk melakukan studi ini, ahli epidemiologi harus mengakaji semua aspek waktu, tempat, dan orang. Pengkajian rinci terhadap setiap elemen tersebut dilakukan dan dianalisis dalam studi epidemiologi deskriptif.

A.    Person (Orang)
Banyak fokus kita ketahui bahwa epidemiologi yang ditujukan pada aspek orang dalam hal penyakit, ketidakmampuan, cedera, dan kematian. Studi epidemiologi umumnya berfokus pada beberapa karakteristik demografi utama dari aspek manusia yaitu usia, jenis kelamin, ras/etnik, status perkawinan, pekerjaan, dan lain-lain.
a.       Usia
Variabel usia merupakan hal yang penting karena semua rate morbiditas dan rate mortalitas yang dilaporkan hampir selalu berkaitan dengan usia. Usia termasuk variabel penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan karena:
·         Ada kaitannya dengan daya tahan tubuh
Pada umumnya daya tahan tubuh orang dewasa lebih kuat daripada bayi dan anak-anak.
·         Ada kaitannya dengan ancaman terhadap kesehatan
Orang dewasa yang karena pekerjaannya ada kemungkinan menghadapi ancaman penyakit lebih berat dari pada ank-anak.
·         Ada kaitannya dengan kebiasaan hidup
Dibandingkan anak-anak, orang dewasa yang karena kebiasaan hidupnya ada kemungkinan terkena penyakit akibat kesalahan kebiasaan hidup tersebut.

Adanya perbedaan penyebaran penyakit di setiap kelompok usia disebabkan oleh:
a.       Adanya faktor tertentu pada kelompok usia tersebut yang menyebabkan mereka mudah terserang. Misalnya, campak pada anak-anak. Kesimpulannnya anak-anak tidak mempunyai kekebalan terhadap campak.
b.      Adanya faktor tertentu pada kelompok usia lain yang menyebabkan mereka sulit terserang. Misalnya campak jarang ditemkan pada orang dewasa. Kesimpulannnya orang dewasa mempunyai kekebalan terhadap campak.
c.       Adanya peristiwa tertentu yang pernah dialami oleh kelompok umur tertentu. Misalnya TBC paru banyak ditemukan pada penduduk berumur 20 tahun ke atas. Kesimpulannya imunisasi BCG baru berjalan baik sejak 20 tahun yang lalu.

·         Hubungan umur dengan mortalitas
Walaupun secara umum kematian dapat terjadi pada setiap golongan usia tetapi dari berbagai catatan diketahui bahwa frekuansi kematian pada setiap golongan usia berbeda-beda, yaitu kematian tertinggi terjadi pada golongan umur 0-5 tahun dan kematian terendah terletak pada golongan umur 15-25 tahun dan akan meningkat lagi pada umur 40 tahun ke atas.
Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa secara umum kematian akan meningkat dengan meningkatnya umur. Hal ini disebabkan berbagai faktor, yaitu pengalaman terpapar oleh faktor penyebab penyakit, faktor pekerjaan, kebiasaan hidup atau terjadinya perubahan dalam kekebalan.
·         Hubungan Usia dengan Morbididtas
Kita ketahui bahwa pada hakikatnya suatu penyakit dapat menyerang setiap orang pada semua golongan umur, tetapi ada penyakit-penyakit tertentu yang lebih banyak menyerang golongan usia tertentu. Penyakit-penyakit kronis mempunyai kecendrungan meningkat dengan bertambahnya umur, sedangkan penyakit-penyakit akut tidak mempunyai suatu kecendrungan yang jelas.
Anak berumur 1-5 tahun lebih banyak terkena infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA). Ini disebabkan perlindungan kekebalan yang diperoleh dari ibu yang melahirkannya hanya sampai pada 6 bulan pertama setelah melahirkan, sedangkan setelah itu kekebalan menghilang dan ISPA mulai menunjukkkan peningkatan.
Sebelum ditemukan vaksin, banyak terjadi pada anak-anak berumur muda, tetapi setelah program imunisasi dijalankan, umur penderita bergeser ke umur yang lebih tua. Walaupun program imunisasi telah lama dijalankan di Indonesia, tetapi karena kesadaran dan pengetahuan masyarakat yan masih rendah terutama di daerah pedesaan sering kali target cakupan imunisasi tidak tercapai yang berarti masih banyak anak atau bayi yang tidak mendapatkan imunisasi. Gambaran ini tidak hanya terjadi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi terjadi juga pada negara maju.
Penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan karsinoma lebih banyak menyerang orang dewasa dan lanjut usia, sedangkan penyakit kelamin, AIDS, kecelakaan lalu lintas, penyalahgunaan obat terlarang banyak terjadi pada golongan usia produktif yaitu remaja dan dewasa. Hubungan antara usia dan penyakit tidak hanya pada frekuensinya saja, tetapi pada tingkat beratnya penyakit, misalnya stapilococcus dan eschericia coli akan menjadi lebih berat bila menyerang bayi daripada golongan umur lain karena bayi masih sangat rentan terhadap infeksi.
·         Hubungan Tingkat Perkembangan Manusia Dengan Morbiditas
Dalam perkembangan secara alamiah, manusia mulai dari sejak dilahirkan hingga akhir hayatnya senantiasa mengalami perubahan baik fisik maupun psikis. Secara garis besar, perkembangan manusia secara alamiah dapat dibagi menjadi beberapa fase yaitu fase bayi dan anak-anak, fase remaja dan dewasa muda, fase dewasa dan lanjut usia.
Dalam setiap fase perkembangan tersebut, manusia mengalami perubahan dalam pola distribusi dan frekuensi morbiditas dan mortalitas yang disebabkan terjadinya perubahan dalam kebiasaan hidup, kekebalan, dan faal.
b.      Jenis Kelamin
Hubungan Penyakit Dengan Jenis Kelamin
Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup, kesadaran berobat, perbedaan kemampuan atau kriteria diagnostik beberapa penyakit, genetika atau kondisi fisiologis. Penyakit-penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan daripada laki-laki antara lain:
1.      Tireotoksikosis
2.      Diabetes melitus
3.      Obesitas
4.      Kolesisitis
5.      Rematoid artritis
Selain itu, terdapat pula penyakit yang hanya menyerang perempuan, yaitu penyakit yang berkaitan dengan organ tubuh perempuan seperti karsinoma uterus, karsinoma mamae, karsinoam serviks, kista ovarii, dan adneksitis. Penyakit-penyakit yang lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan antara lain:
1.      Penyakit jantung koroner
2.      Infark miokard
3.      Karsinoma paru
4.      Hernia inguinalis
Selain itu, terdapat pula penyakit yang hanya menyerang laki-laki seperti karsinoma penis, orsitis, hipertrofi prostat, dan karsinoma prostat.
c.       Suku Bangsa
Suku bangsa atau golongan etnik adalah sekelompok manusia dalam suatu populasi yang memiliki kebiasaan atau sifat biologis yang sama. Walaupun klasifikasi penyakit berdasarkan suku bangsa sulit dilakukan baik secara praktis maupun secara konseptual, tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam frekuensi dan beratnya penyakit diantara suku bangsa maka dibuat klasifikasi walaupun kontroversi. Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku bangsa berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan, misalnya:
1.      Penyakit sickle cell anemia
2.      Hemofilia
3.      Kelainan biokimia sperti glukosa 6 fosfatase
4.      Karsinoma lambung
Disamping ketiga fakor yang telah diuraikan di atas terdapat pula faktor-faktor lain yang berkaitan dengan variabel “orang”, yaitu:
1.      Sosial ekonomi
2.      Budaya/agama
3.      Pekerjaan
4.      Status marital
5.      Golongan darah
6.      Infeksi alamiah
7.      Kepribadian
8.      Sosial ekonomi
Terdapatnya perbedaan penyebaran masalah kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor:
a.       Perbedaan kemampuan ekonomi dalam mencegah atau mengobati penyakit.
b.      Perbedaan sikap hidup dan perilaku yang dimiliki.
Keadaan sosial ekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi frekuensi distribusi penyakit tertentu, misalnya TBC, infeksi akut gastrointestinal, ISPA, anemia, melnutrisi, dan penyakit parasit yang banyak terdapat pada penduduk golongan sosial ekonomi rendah. Penyakit jantung koroner, hipertensi, obesitas, kadar kolesterol tinggi, dan infark miokard yang banyak terdapat pada penduduk golongan sosial ekonomi yang tinggi.
d.      Budaya/agama
Dalam beberapa hal terdapat hubungan antara kebudayaan masyarakat atau agama dengan frekuensi penyakit tertentu, misalnya:
1.      Balanitis, karsnoam penis banyak terdapat pada orang yang tidak melakukan sirkumsisi disertai dengan higiene perorangan yang jelek.
2.      Trisinensis jarang terdapat pada orang Islam dan orang Yahudi karena mereka tidak memakan babi.
3.      Kelainan fungsi hati jarang ditemukan pada pemeluk agama islam karena ajaran agama islam tidak membenarkan meminum alkohol.
e.       Pekerjaan
Berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distirbusi penyakit. Hal ini disebabkan sebagian hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan dengan berbagai suasana dan lingkungan yang berbeda. Misalnya, pekerjaan yang berhubungan dengan bahan fisika, panas, bising, dan kimia seperti pekerja pabrik asbes yang banyak menderita karsinoma paru dan gastrointestinal serta mesotelioma, sedangkan fibrosis paru banyak terdapat pada pekerja yang terpapar oleh silikon bebas, atau zat radioaktif seperti petugas di bagian radiologi dan kedokteran nuklir.

Pekerja di bidang pertambangan, konstruksi bangunan atau pertanian, dan pengemudi kendaraan bermotor mempunyai risiko yang lebih beasr untuk mengalami trauma atau kecelakaan dibandingkan dengan pekerja kantor.
Pada dasarnya hubungan antara pekerjaan dengan masalah kesehatan disebabkan oleh :
·         Adanya risiko pekerjaan
Setiap pekerjaan mempunyai risiko tertentu dan karena itulah macam penyakit yang dideritanya akan berbeda pula. Misalnya buruh berisiko lebih besar terkena penyakit silikosis.
·         Adanya seleksi alamiah dalam memilih pekerjaan
Seseorang yang betrubuh lemah secara naluriah menghindari macam pekerjaan fisik yang berat, demikian sebaliknya yang bertubuh kuat.
·         Adanya perbedaan status sosial ekonomi
Perbedaan pekerjaan menyebabkan perbedaan status sosial ekonomi sehigga menyebabkan perbedaan penyakit yang dideritanya.
f.       Status Marital
Adanya hubungan antara status marital dengan frekuensi distribusi morbiditas telah lama diketahui, tetapi penyebab pastinya belum diketahui. Ada yang berpendapat bahwa hubungan status marital dengan morbiditas dikaitkan dengan faktor psikis, emosional, dan hormonal atau berkaitan dengan kehidupan seksual, kehamilan, melahirkan, dan laktasi.
Lebih banyak ditemukan pada perempuan yang tidak menikah dibandingkan dengan perempuan yang menikah, sebaliknya karsinom serviks lebih banyak ditemukan pada perempuan yang menikah daripada yang tidak menikah atau menikah pada usia yang sangat muda atau sering berganti pasangan. Kehamilan dan persalinan merupakan merupakan faktor risiko terjadinya eklamsia dan praeklamsia yang dapat menyebabkan kematian ibu. Angka kematian ibu di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain.
g.      Golongan Darah ABO
Golongan darah juga dapat mempengaruhi insidensi suatu penyakit, misalnya orang-orang dengan golongan darah A meningkatkan risiko terserang karsinoma lambung, sedangkan golongan darah O lebih banyak terkena ulkus duodeni.

B.     Time (Waktu)
Variabel waktu merupakan faktor kedua yang harus diperhatikan ketika melakukan analisis morbiditas dalam studi epideiologi karena pencatatan dan laporan insidensi dan prevalensi penyakit selalu didasarkan waktu, apakah mingguan, bulanan atau tahunan.
Laporan morbiditas ini menjadi sangat penting artinya dalam epidemiologi karena didasarkan pada kejadian yang nyata dan bukan berdasarkan perkiraan atau estimasi. Selain itu dengan pencatatan dan laporan morbiditas dapat diketahui adanya perubahan-perubahan insidensi dan prevalensi penyakit hingga hasilnya dapat digunakan untuk menyusun perencanaan dan penanggulangan masalah kesehatan.
Mempelajari morbiditas berdasarkan waktu juga penting untuk mengetahui hubungan antara waktu dan insiden penyakit atau fenomena lain, misalnya penyebaran penyakit saluran pernapasan yang terjadi pada waktu malam hari karena terjadinya perubahan kelembaban udara atau kecelakaan lalu lintas yang sebagian besar terjadi pada waktu malam hari.
Pengetahuan tentang penyebaran masalah kesehatan menurut waktu akan membantu dalam memahami :
·         Kecepatan perjalanan penyakit
Apabila suatu penyakit dalam waktu yang singkat menyebar dengan pesat, berarti perjalanan penyakit tersebut berlangsung cepat.
·         Lama terjangkitnya suatu penyakit
Lama terjangkitnya suatu penyakit dapat pula diketahui dari penyebaran penyakit menurut waktu, yakni dengan memanfaatkan keterangan tentang waktu terjangkitnya penyakit dan keterangan tentang waktu lenyapnya penyakit tersebut.
Penyebaran masalah kesehatan menurut waktu dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:
·         Sifat penyakit yang ditemukan
Secara umum disebutkan bahwa penyakit infeksi lebih cepat menyebar daripada penyakit bukan infeksi. Hal yang berperan di sini adalah sifat bibit penyakit yang ditemukan yang dibedakan atas patogenisiti, virulensi, antigenisiti, dan infektiviti.
·         Keadaan tempat terjangkitnya penyakit
Untuk penyakit infeksi keadaan yang paling penting adalah yang menyangkut ada tidaknya reservoir bibit penyakit, yang jika dikaitkan dengan keadaan tempat terjangkitnya penyakit disebut dengan nama environmental reservoir yakni lingkungan alam di sekitar manusia.
·         Keadaan penduduk
Penyebaran masalah kesehatan menurut waktu juga dipengaruhi oleh keadaan penduduk, baik yang menyangkut ciri-ciri manusianya dan ataupun yang menyangkut jumlah dan penyebaran penduduk tersebut.
·         Keadaan pelayanan kesehatan yang tersedia
Jika keadaan pelayanan kesehatan baik, maka penyebaran suatu masalah kesehatan dapat dicegah sehingga waktu terjangkitnya penyakit dapat diperpendek.

Fluktuasi insiden penyakit yang diketahui terdiri dari:
1. Variasi Jangka Pendek
a.       Sporadis
Kejadian ini relatif berlangsung singkat, umumnya berlangsung di beberpa tempat, dan pada waktu pengamatan masing-masing kejadian tidak saling berhubungan, misalnya dalam proses penyebarannya. Contoh: penyebaran penyakit DHF.
b.      Endemis
Penyakit menular yang terus menerus terjadi di suatu tempat atau prevalensi suatu penyakit yang biasanya terdapat di suau tempat.
c.       Pandemis
Penyakit yang berjangkit/menjalar ke beberapa negara atau seluruh benua. Misalnya: Flu (1914), Kholera (1940), AIDS (1980), SARS (2003).
d.      Epidemis
Kenaikan kejadian suatu penyakit yang berlangsung secara cepat dan dalam jumlah yang secara bermakna melebihi insidens yang diperkirakan.
2. Variasi Berkala
a.       Kecendrungan sekuler (secular trend)
Kecendrungan sekuler ialah terjadinya perubahan penyakit atau KLB dalam waktu yang lama. Lamanya waktu dapat bertahun-tahun sampai beberapa dasawarsa. Kecendrungan sekuler dapat terjadi pada penyakit menular maupun penyakit infeksi nonmenular. Misalnya, terjadinya pergeseran pola penyakit menular ke penyakit yang tidak menular yang terjadi di negara maju pada beberapa dasawarsa terakhir.
Pengetahuan tentang perubahan tersebut dapat digunakan dalam penilaian keberhasilan upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit. Kecendrungan sekuler juga dapat digunakan unuk mengetahui perubahan yang terjadi pada mortalitas.
Dalam mempelajari kecendrungan sekuler tentang mortalitas, harus dikaitkan dengan sejauh mana perubahan insiden dan sejauh mana perubahan tersebut menggambarkan kelangsungan hidup penderita. Angka kematian akan sejalan dengan angka insiden (insidence rate) pada penyakit yang fatal dan bila kematian terjadi tidak lama setelah diagnosis, misalnya karsinoma paru-paru, karena memenuhi kriteria di atas.
b.      Variasi siklik
Variasi siklik ialah terulangnya kejadian penyakit setelah beberapa tahun, tergantung dari jenis penyakitnya, misalnya epidemi campak biasanya berulang setelah 2-3 tahun kemudian. Variasi siklik biasanya terjadi pada penyakit menular karena penyakit noninfeksi tidak mempunyai variasi siklik.
c.       Variasi musim
Variasi musim ialah terulangnya perubahan frekuensi insidensi dan prevalensi penyakit yang terjadi dalam 1 tahun. Dalam mempelajari morbiditas dan mortalitas, variasi musim merupakan salah satu hal yang sangat penting karena siklus penyakit terjadi sesuai dengan perubahan musim dan berulang setiap tahun.
Variasi musim sangat penting dalam menganalisis data epidemiologi tentang kejadian luar biasa untuk menentukan peningkatan insidensi suatu penyakit yang diakibatkan variasi musim atau memang terjadinya epidemi. Bila adanya variasi musim tidak diperhatikan, kita dapat menarik kesimpulan yang salah tentang timbulnya KLB.
Disamping itu, pengetahuan tentang variasi musim juga dibutuhkan pada penelitian epidemiologi karena penelitian yang dilakukan pada musim yang berbeda akan menghasilkan frekuensi distribusi penyakit yang berbeda pula. Penyakit-penyakit yang mempunyai variasi musim antara lain: diare, influenza, dan tifus abdominalis.
Beberapa ahli memasukkan variasi musim ke dalam variasi siklik karena terjadinya berulang, tetapi di sini dipisahkan karena pada variasi musim, terulangnya perubahan insidensi penyakit dalam waktu yang pendek sesuai dengan perubahan musim, sedangkan pada variasi siklik fluktuasi perubahan insiden penyakit terjadi lebih lama yaitu suatu penyakit dapat terulang 1 atau 2 tahun sekali.
d.      Variasi random
Variasi random diartikan sebagai terjadinya epidemi yang tidak dapat diramalkan sebelumnya, misalnya epidemi yang terjadi karena adanya bencana alam seperti banjir dan gempa bumi.

C.    Place (Tempat)
Variabel tempat merupakan salah satu variabel penting dalam epidemiologi deskriptif karena pengetahuan tentang tempat atau lokasi KLB atau lokasi penyakit- penyakit endemis sangat dibutuhkan ketika melakukan penelitian dan mengetahui sebaran berbagai penyakit di suatu wilayah sehingga dari keterangan yang diperoleh akan diketahui :
a.       Jumlah dan jenis masalah kesehatan yang ditemukan di suatu daerah.
b.      Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan di suatu daerah.
c.       Keterangan tentang faktor penyebab timbulnya masalah kesehatan di suatu daerah.
Batas suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan :
1.      Geografis
Ditentukan berdasarkan alamiah, administratif atau fisik, institusi, dan instansi. Dengan batas alamiah dapat dibedakan negara yang beriklim tropis, subtropis, dan negara dengan empat musim. Hal ini penting karena dengan adanya perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola penyakit baik distribusi frekuensi penyakit maupun jenis penyakit. Dari batas administratif dapat ditentukan batas propinsi, kabupaten, kecamatan atau desa dengan sungai, jalan kereta api, jembatan dan lainnya sebagai batas fisik.
2.      Batas institusi
Dapat berupa industri, sekolah atau kantor, dan lainnya sesuai dengan timbulnya masalah kesehatan. Contoh kejadian penyakit berdasarkan tempat yaitu:
a.       TBC, pada daerah penduduk padat dengan sosial ekonomi rendah.
b.      Cholera, pada daerah penduduk padat dengan linkungan jelek
c.       Asbestosis, pada pekerja pabrik asbes.
Penyebaran masalah kesehatan menurut tempat, secara umum terdiri dari:
1.      Penyebaran satu wilayah
Masalah kesehatan hanya ditemukan di satu wilayah saja. Batasan wilayah yang dimaksudkan tergantung dari sistem kepemerintahan yang dianut. Misalnya satu kecamatan saja, satu kelurahan saja, dsb. Pembagian menurut wilayah yang sering dipergunakan adalah desa dan kota.
2.      Penyebaran beberapa wilayah
Penyebaran beberapa wilayah tergantung dari sistem kepemerintahan yang dianut. Misalnya beberapa kecamatan saja, beberapa kelurahan saja, dsb.
3.      Penyebaran satu negara (nasional)
Masalah kesehatan ditemukan di semua wilayah negara tersebut.
4.      Penyebaran beberapa negara (regional)
Masalah kesehatan dapat menyebar ke beberapa negara. Masuk atau tidaknya suatu penyakit ke suatu negara dipengaruhi oleh faktor :
a.       Keadaan geografis negara tersebut dalam arti apakah ditemukan keadaan-keadaan geografis tertentu yang menyebabkan suatu penyakit dapat terjangkit atau tidak di negara tersebut.
b.      Hubungan komunikasi yang dimiliki, dalam arti apakah letak negara tersebut berdekatan dengan negara yang terjangkit penyakit, bagaiman sistem transportasi antar negara, hubungan antar penduduk, apakah egara tersebut terbuka untuk penduduk yang berkunjung dan menetap, dsb.
c.       Peraturan perundangan yang berlaku, khususnya dalam bidang kesehatan.
5.      Penyebaran banyak negara (internasional)
Masalah kesehatan ditemukan di banyak negara, yang pada saat ini dengan kemajuan sistem komunikasi dan transportasi amat sering terjadi.

Sumber :
https://rhenoe.wordpress.com/tag/epidemiologi/